Label

Minggu, 23 Mei 2010

Sri Mulyani, Nasionalisme, dan Tinju

Muhammad Chatib Basri*



Pittsburgh, 25 September 2009. Saya catat hari itu dalam ingatan. Presiden Obama meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membagikan pengalaman Indonesia dalam menurunkan subsidi bahan bakar minyak, dalam forum amat penting G-20. Kita ingat pada 2005 dan 2008, Indonesia menaikkan harga BBM dan mengalokasikan subsidinya untuk rakyat miskin. Mungkin aneh bagi sebagian di antara kita, mengapa kebijakan yang di dalam negeri dicaci maki justru layak dijadikan contoh oleh negara anggota G-20.



Siang itu, Presiden SBY sudah bersiap memberikan paparannya. Sayangnya, waktu dalam sesi makan siang itu amat terbatas, padahal ada tiga topik yang dibahas, dan giliran SBY yang terakhir. Waktu habis dan Presiden pun tak jadi bicara. Tentu kami semua-Menteri Keuangan Sri Mulyani; juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal; Mahendra Siregar; dan saya-amat kecewa.



Kami berusaha meminta keterangan dari delegasi Amerika Serikat, tapi jawabannya tak memuaskan. Mereka tentu tak berani menanyakan kepada Obama. Saya ingat Sri Mulyani setengah berbisik kemudian mengatakan, "Kayaknya saya mesti ngomong langsung dengan Obama." Saya kira dia bergurau. Tapi kemudian saya sadar, ia serius. Sri menghampiri Presiden Obama yang baru memasuki ruangan setelah jeda makan siang. Mereka berbicara berdua. Saya kebetulan berjarak sekitar dua meter dari mereka, sehingga saya bisa mendengar percakapan tersebut.



Dengan terus terang-khas Sri Mulyani-ia menyampaikan kekecewaannya. Ia mengatakan bahwa Presiden Obama sudah meminta Presiden SBY berpidato, tapi waktunya habis. Karena itu, ia meminta Presiden Obama menyampaikan maaf kepada Presiden SBY dan memberikan kesempatan di sesi berikutnya. Saya terkejut. Presiden Obama-saya kutip dari ingatan-tersenyum dan mengatakan, "Itu kesalahan saya, saya minta maaf, akan saya berikan kesempatan di sesi berikutnya."



Setelah itu, saya melihat Presiden Obama menghampiri Presiden SBY dan berbicara berdua. Di sesi berikutnya, Presiden Obama meminta maaf secara terbuka. SBY kemudian berpidato dengan sangat meyakinkan. Bahkan, kemudian ada satu bagian dari komunike yang menganjurkan agar kebijakan ini dicontoh anggota G-20. Sri Mulyani kelihatan tersenyum. Sambil bercanda kami mengatakan kepada Sri Mulyani, sebetulnya ia lebih cocok menjadi Menteri Pertahanan!



Itu adalah contoh kecil dari kiprah Sri Mulyani di forum internasional. Tentu naif bila kita menyimpulkan bahwa Indonesia berperan dalam G-20 hanya dari cerita itu. Yang jauh lebih serius adalah ketika pada pembicaraan di tingkat Menteri Keuangan, Sri Mulyani memperjuangkan pembiayaan stimulus fiskal bagi negara berkembang. Negara berkembang-termasuk Indonesia-sampai September 2008, tumbuh relatif tinggi. Namun krisis keuangan global telah membawa dampak yang dalam bagi negara berkembang.

Untuk mengatasi itu, sisi permintaan-seperti resep Keynes lebih dari 70 tahun lalu-harus didorong. Dan ini mesti dilakukan di tingkat global. Masalahnya, tak semua negara, terutama negara berkembang, memiliki kemampuan untuk membiayai stimulusnya. Dalam situasi krisis keuangan global, akses terhadap pasar keuangan praktis tertutup. Kalaupun terbuka, harganya amat mahal.



Di sini, usulan Indonesia agar dibentuk global expenditure support fund diadopsi. G-20 sepakat mengguyurkan sedikitnya US$ 100 miliar melalui Bank Pembangunan Multilateral untuk membantu bujet negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, disediakan trade financing US$ 250 miliar untuk memulihkan perdagangan global.



Saya yang hadir di sana melihat bagaimana Sri Mulyani berdebat mengenai hal ini. Ia begitu dihormati dan didengar oleh para menteri keuangan lain, seperti Alistair Darling dari Inggris, Tim Geithner dari Amerika, atau Christine Lagarde dari Prancis. Saya ingat bagaimana dalam diskusi, Sri Mulyani kerap diminta menjadi pembicara pembuka. Saya catat, Darling atau Geithner di beberapa kesempatan, setelah mereka bicara, berpaling dan menanyakan, "Sri Mulyani, what do you think...."



Di sana, saya bangga menjadi orang Indonesia karena Indonesia dihormati dan didengar dalam forum yang boleh dibilang paling penting di dunia saat ini. Sebab, Indonesia berani memperjuangkan nasib negara berkembang di pentas global. Di masa lalu, sentimen nasionalisme kita kerap dibangun lewat tinju atau bulu tangkis. Keindonesiaan kita menjadi begitu bergelora ketika Ellyas Pical juara dunia, atau saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma meraih emas olimpiade. Atau di tempat lain, nasionalisme kita bergelora ketika kita marah, atau terusik atau takut, lalu berteriak "awas asing".



Sri Mulyani membangkitkan kebanggaan akan Indonesia dengan cara lain. Maka, bukan hal yang aneh jika Sri Mulyani ditawari posisi nomor dua di Bank Dunia. Kiprahnya di dunia internasional memang membuat Indonesia yang tadinya sunyi dalam pentas global menjadi berbunyi. Kini, sentimen nasionalisme kita justru dibangun oleh Sri Mulyani lewat perasaan dihargai dan dihormati, karena Indonesia didengar, karena Indonesia mewakili emerging economies memiliki peran mengatasi krisis global. Kita tak lagi menjadi tawanan rasa rendah diri kita atau kita tak lagi melihat dunia dengan kecemasan di tiap tikungan.



*) Mantan anggota staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Deputi Menteri Keuangan untuk G-20--yansen lokanata .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar