Label

Selasa, 01 Juni 2010

MERAUP KEUNTUNGAN DARI KEMATIAN: Taktik Industri Rokok di Indonesia

Oleh:
Talitha Fauzia Chairunissa


Dewasa ini, kesadaran dunia internasional mengenai dampak berbahaya produk tembakau semakin besar. Tidak seperti produk-produk berbahaya lainnya, sampai saat ini eksistensi produk tembakau sangat sulit untuk diregulasi. Hal tersebut terjadi antara lain karena kehadiran industri rokok yang dilematis. Dampak berbahaya rokok yang mengancam kesehatan, ekonomi, sosial dan lingkungan tidak perlu diperdebatkan lagi, namun kenyataan bahwa industri tersebut memberikan kontribusi yang besar melalui pendapatan cukai dan sektor ketenagakerjaanlah yang selalu dijadikan alasan bagi pemerintah RI untuk melindungi industri dari segala bentuk regulasi, termasuk kesepakatan internasional berupa Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau. Poin-poin kesepakatan internasional yang tertuang dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tersebut dikhawatirkan akan mematikan industri rokok, salah satu industri yang masuk dalam paket 10 industri yang harus dikembangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sampai tahun 2025. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah argumen tersebut terbukti? Apakah langkah yang diambil oleh pemerintah RI sudah tepat?

Penulis mencoba melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Penelitian sederhana yang penulis lakukan tidak lain mencoba membuktikan apakah kebijakan yang pemerintah RI tetapkan selama ini, dalam bentuk penetapan cukai dan kebijakan-kebijakan terkait pengendalian tembakau lainnya (periklanan, peringatan kesehatan, kawasan tanpa asap rokok, dan lain sebagainya) sudah efektif meregulasi industri rokok di Indonesia. Hasilnya adalah sebagai berikut:

• Hasil utama yang penulis temukan adalah bahwa penetapan cukai hanya memiliki dampak signifikan dalam mempengaruhi kemampuan perusahaan-perusahaan dalam industri rokok untuk bertahan, namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan tersebut, ditinjau dari pertumbuhan tenaga kerja, nilai tambah dan produktivitas. Dampak kenaikan cukai yang signifikan terhadap ketahanan perusahaan boleh jadi disebabkan oleh besar cukai yang cenderung overestimated (jauh lebih besar dari yang sebenarnya) dalam penelitian, terkait dengan terbatasnya data mengenai penetapan cukai per perusahaan.

• Selain itu, penelitian tersebut membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan lainnya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan, dan justru memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan untuk bertahan dalam industri rokok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan terkait dengan pengendalian tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah selama ini tidak memiliki dampak apapun, namun justru memajukan industri.

• Dari tahun ke tahun, ketahanan dan pertumbuhan industri rokok semakin besar, terlihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan baru setiap tahunnya, dan tren produksi yang terus meningkat, antisipasi oleh Gabungan Perusahaan Rokok Indonesia bahwa tahun 2008 angka produksi akan menembus 230 milyar batang, atau naik 3% dari tahun lalu..

• Adanya kenaikan harga (karena kenaikan cukai) dari tahun ke tahun tidak lantas menurunkan permintaan konsumen akan produk rokok. Jika dihubungkan dengan teori ekonomi, fungsi permintaan terhadap produk rokok bersifat inelastis, karena produk rokok bersifat adiktif.

Hasil penelitian tersebut seharusnya cukup untuk meyakinkan pemerintah RI, karena kekhawatiran akan terciptanya pengangguran tambahan dan turunnya pendapatan cukai akibat pengetatan regulasi tidak terbukti. Yang perlu pemerintah khawatirkan bukanlah terciptanya pengangguran dan turunnya pendapatan cukai akibat implementasi poin-poin FCTC, karena pada dasarnya implementasi poin-poin FCTC terbukti menguntungkan, mengacu pada kenyataan yang terjadi di negara-negara konsumen produk tembakau terbesar di dunia (dimana Indonesia kini telah naik posisi dari nomor 5 menjadi nomor 3); sementara kini tembakau diperkirakan menyumbangkan kematian sebesar 5,000,000 orang di dunia melebihi kematian akibat tuberculosis, malaria dan HIV/AIDS, dan di 2030 kematian akibat konsumsi tembakau akan melebihi 8,000,000 orang per tahun .
Yang perlu pemerintah khawatirkan adalah penurunan pendapatan cukai dan terciptanya pengangguran yang bersumber dari lobi industri rokok itu sendiri, karena pada dasarnya perusahaan-perusahaan dalam industri rokok mampu membentuk kartel dalam upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah RI yang seharusnya melindungi dua pertiga warga negaranya yang tidak merokok (prevalensi merokok orang Indonesia usia 15 tahun ke atas per 2004 telah mencapai 34.4%) dan membantu para perokok berhenti merokok. Terlebih lagi, Indonesia telah menyumbangkan nyaris 50% dari jumlah perokok Asia Tenggara.

Dalam teori ekonomi industri , kartel dalam industri beragam bentuknya, tetapi umumnya terjadi melalui dua cara, yaitu dengan penetapan harga dan penetapan output. Mengacu pada teori tersebut, dapat dipastikan bahwa industri rokok tidak akan membentuk kartel melalui penetapan harga, karena harga jual produk rokok diatur oleh pemerintah melalui Harga Jual Eceran (HJE) dan penetapan cukai yang sejatinya sebagai alat untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya. Industri rokok juga tidak akan membentuk kartel melalui penetapan output, karena pada prinsipnya setiap perusahaan berkeinginan untuk memaksimumkan keuntungan.

Bentuk kartel yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk lobi yang sampai saat ini dipraktekkan. Lobi yang telah dilakukan salah satunya adalah ancaman bahwa perusahaan rokok akan beralih ke mekanisasi apabila pemerintah RI memberlakukan cukai spesifik di tahun 2008 ini, dan tentunya lagi-lagi akan tercipta pengangguran tambahan akibat pengalihan tersebut. Meskipun menurut penelitian yang dilakukan oleh penulis sebenarnya tidak terdapat pengaruh antara kenaikan cukai dan penetapan kebijakan terhadap pertumbuhan ketenagakerjaan, namun lobi semacam itu ternyata terbukti efektif mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah, karena telah berhasil melemahkan, membuat ambigu dan/atau tidak implementatifnya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di masa lalu, dan berlaku sampai hari ini, simak saja UU 32/2002 tentang Penyiaran pasal 46 butir 3, UU 23/2002 tentang perlindungan anak pasal 59 dan 89 ayat 2, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU 23/1992 tentang Kesehatan pasal 44, Peraturan Pemerintah No. 19/2003 tentang pengamanan rokok, setelah diubah sebanyak dua kali dan justru menjadi lebih lemah dibandingkan PP sebelumnya. Lobi semacam itu juga telah berhasil menggagalkan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas pada masa pemerintahan berjalan.

Keputusan terakhir untuk mengatasi dilema ini tentu berada di tangan pemerintah RI. Sekarang pemerintah hanya tinggal memilih pihak mana yang akan dibela kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita, anak-anak dan kaum miskin, terutama yang bukan perokok namun terancam kesehatan dan masa depannya, atau industri yang pada dasarnya tidak dirugikan secara signifikan eksistensinya.

Penulis berharap, para pembuat kebijakan cukup arif dan bijaksana dalam menentukan prioritas dan tidak melakukan pembiaran terhadap meluasnya epidemi tembakau di kalangan generasi muda, terutama karena hal ini menyangkut masa depan bangsa Indonesia.


Penulis adalah lulusan termuda dan cum-laude
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Januari 2008
Judul skripsi: Pengaruh Cukai dan Kebijakan Pengendalian Tembakau
terhadap Kinerja, Pertumbuhan dan Kemampuan Perusahaan
untuk Bertahan pada Industri Rokok Indonesia
(Periode Tahun 1990—1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar