Label

Selasa, 08 Juni 2010

Masihkah Kita Bangsa Yang Ramah?

Membaca koran hari ini, hati terasa trenyuh, merinding. Bagaimana tidak hanya karena bersenggolan motor, seorang marinir ditembak pada bagian perutnya. Dan pelaku langsung melarikan diri.
Persis seperti cerita cowboy zaman wild west.
Belum lagi membaca kasus ibu, yang karena tekanan ekonomi, tega mematahkan kaki dan tangan anaknya yang masih bayi. Ditambah keseharian kita yang berangkat ke kantor, kendaraan mobil, motor dan kendaraan umum, saling menyalib, memotong jalan , berhenti mendadak, sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Tak ayal sumpah serapah, caci maki menjadi menu sarapan dipagi hari.

Apa benar bangsa kita dianggap sebagai bangsa yang ramah?

Coba lihat drama sidang di Senayan. Wakil Rakyat saling berebut bicara, memaki maki tamu yang diundangnya. Menganggap mereka bukan sebagai tamu, tapi sebagai terdakwa dengan membeberkan segala kejelekan dari tamu yang diundangnya. Tamu itu pun bukan sebagai tamu biasa, melainkan pejabat pejabat negara yang akan memaparkan perkembangan tugas yang diembannya. Tapi yang diperoleh tamu adalah cacian dan pertanyaan pertanyaan yang menyudutkan. Seaakan mereka sudah tidak mengenal tata krama ketimuran. Mereka menganggap dirinya yang paling benar dan paling berjasa atas negeri ini.

Masikah kita bangsa yang ramah?

Setiap tanggal 17 Agustus ada upacara bendera di Istana Merdeka. Biasanya, mantan Kepala Negara dan mantan Wakil Presiden selalu diundang dan disediakan tempat khusus didepan podium. Tapi bisa kita lihat, siapa yang hadir?
Seakan Presiden yang berkuasa kini adalah musuh yang mengalahkannya pada pemilu, bukan sebagai Presiden yang seyogyanya didukung untuk mengatur dan mengurus negeri yang kita cintai.

Masihkah kita bangsa yang ramah?

"Peradaban dimulai dengan aturan, tumbuh dengan kebebasan dan mati dengan kekacauan"
Will Durant (1885-1981) sejarawan dan penulis Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar