Label

Sabtu, 12 Juni 2010

Jurnalistik dalam Kacamata Islam

oleh: Abankz

Jurnalistik sering diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mencari berita dan kemudian menyampaikan sejumlah berita yang telah didapatkan tersebut kepada khalayak umum di masyarakat. Definisi tersebut memang terkesan sempit namun banyak hal yang perlu untuk diperhatikan di dalamnya. Terutama terkait terhadap bagaimana menyikapi makna berita itu sendiri.

Apa yang dimaksud sebagai sebuah berita???

Secara umum sebuah berita dapat diidentifikasi dari keterpenuhannya terhadap aspek informasi yang harus mencakup kriteria “5W+1H”. Siapa yang diinfokan(who), apa yang diinfokan(what), kenapa muncul info tersebut (why), kapan info itu terjadi (when), dimana sumber info tersebut (where), dan bagaimana penjelasan terhadap info tersebut (how). Tidak hanya sebatas itu sebuah informasi sepakat untuk dapat dianggap sebagai sebuah berita jika kemudian memenuhi aspek keberpihakkannya akan kepentingan umum, menarik minat pembaca, serta kedekatannya dengan para pembaca.

Definisi singkat diatas sebatas pada pemikiran objektif yang secara umum kita dapat dari teori-teori jurnalistik yang ada. Pemahaman seperti ini menjadi modal dasar bagi para jurnalis terlebih seorang wartawan untuk dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang pemburu dan penyampai berita. Bahkan banyak diantara mereka yang benar-benar secara saklek memegang definisi diatas sebagai satu-satunya pedoman dalam mencari sebuah berita. Tidak jarang kita melihat bagaimana pemberitaan media yang hanya sekedar memunculkan sensasi untuk menarik perhatian masyarakat, tanpa peduli apakah pemberitaan tersebut baik atau buruk untuk disampaikan kepada publik. Alasan yang kemudian dilontarkan atas pemberitaan tersebut sederhana: semua itu dilakukan untuk kepentingan umum. Tapi apakah benar demikian?

Sejatinya makna sebuah berita yang diangkat oleh seorang jurnalis seharusnya tidak hanya pada batas-batas objektif itu saja. Aspek moral dan etika menjadi landasan kuat yang harus sama-sama dipenuhi dengan baik oleh seorang jurnalis, mengingat dimensi fungsional jurnalistik yang menyangkut kepentingan khalayak banyak pada umumnya yang dalam islam semua itu diatur dalam dimensi muamalah. Hal inilah yang seringkali kita lupakan dalam dunia jurnalistik kita dewasa ini, dimana kepentingan-kepentingan materil menjadi tujuan utama dari pemberitaan media hingga menembus batas-batas etika dan moral yang harus sama-sama diembannya.

Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundangan lainnya termasuk beberapa bagian KUHP, bukan semata-mata menjadi alat bagi seorang jurnalis untuk menjamin kebebasan aktivitas mereka sebebas-bebasnya, tapi merupakan rambu-rambu sekaligus tujuan mulia yang diemban oleh dunia jurnalistik kita. Kebebasan itu diberikan bertujuan agar dunia jurnalistik kita mampu memenuhi kebutuhan bangsa akan informasi, pendidikan, hiburan, dan control social di masyarakat, serta berparan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mendorong terwujudnya supremasi hokum, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan menyampaikan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan lain sebagainya.

Kita patut sadari memang regulasi yang ada belum benar-benar cukup memadai untuk mencapai tujuan mulia di atas jika memang kemudian hokum dan etika tersebut benar-benar ditegakkan. Namun juga bukan berarti kemudian tidak mampu kita lakukan.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah seorang muslim tentunya memiliki mayoritas pelaku-pelaku jurnalistiknya juga merupakan seorang muslim. Tapi yang kemudain menjadi masalah di sini adalah sampai saat ini belum ada petunjuk, arahan, informasi yang mampu mengantar para jurnalis untuk dapat melihat korelasi hubungan antara peran jurnalistik yang diemban dengan ketentuan-ketentuan syari’ah muamalah yang harus dipegang mereka sebagai pribadi seorang muslim. Disadari atau tidak itulah yang dirasakan saat ini. Padahal jika kemudian hal ini secara sadar kita pahami sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam dunia jurnalistik kita niscaya tujuan mulia yang diemban akan mampu dengan baik kita capai bersama.

Islam sebagai agama yang syamil mutakamil mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, tidak terkecuali pada bagaimana dunia jurnalistik yang ada. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an terpampang jelas akan bagaimana etika seorang jurnalis dalam mentikapi sebuah berita yang muncul dihadapan mereka. Salah satu diantaranya termaktub dalam firman ALLAH surat Al-Hujurat ayat enam yang berbunyi:

“hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

Ayat di atas mengatur secara singkat bagaimana sikap kita baik sebagai seorang jurnalis atau masyarakat umum sekalipun dalam menyikapi berita yang kita dapat dari sumber-sumber yang terkait. Kewajiban kita disitu setelah mendapatkan sebuah berita adalah bagaimana kemudian mengkroscek pemberitaan yang muncul dengan baik agar kemudain tidak malah menimbulkan kerugian bagi orang lain atau bahkan menimbulkan musibah bagi orang lain baik dalam individu maupun kelompok.

Itu adalah sebagian kecil hukum-hukum syaria’ah muamalah yang mengatur bagaimana etika kita dalam aktivitas dunia jurnalistik yang seharusnya dipegang untuk mencapai peran jurnalistik yang lebih baik. Baik di hadapan manusia maupun di hadapan ALLAH. Hingga pada akhirnya saya mengajak pembaca sekalian untuk tidak lagi kemudian mengkotak-kotakkan kedua hal tersebut (syari’ah dan jurnalistik) dalam dua focus yang berbada melainkan menyikapi dunia jurnalistik kita sebagai bagian yang integral dengan peran kita sebagai pribadi muslim yang sejati.

Wallahu a’lam bisshowwab…

sumber:http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/21/jurnalistik-dalam-kacamata-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar