Belajar pada Gandhi dan Hasan Al Bashri
Dalam acara bedah novel Ayat Ayat Cinta di Kota Medan, 8 Maret lalu,
selesai acara ada seorang ibu bertanya kepada saya, "Kang Abik,
menurut Anda, apa yang semestinya kita lakukan untuk mengatasi
bangsa kita yang sudah carut-marut ini?
" Saya tersentak. Sungguh, pertanyaan ini membuat saya bingung. Saya
tidak tahu harus menjawab apa. "Apa tidak salah alamat?" batin
saya, "Memangnya saya ini siapa, kok ditanya masalah sebesar itu?
Memang saya ini telah melakukan apa, sampai dianggap layak menjawab
pertanyaan besar itu?"
Seketika ingatan saya berkelebat pada satu adegan yang pernah
dialami Mahatma Gandhi. Suatu hari, seorang ibu menemui Gandhi dan
memintanya menasihati anaknya supaya tidak makan permen. Saat itu
Gandhi hanya berkata, "Ibu, pulanglah dulu, bawalah putra ibu ke
sini beberapa hari lagi!" Sang ibu pun patuh. Beberapa hari kemudian
ibu itu datang kembali membawa putranya. Gandhi lalu menasihati
putra ibu itu, "Nak, jangan makan permen ya!"
Hanya itu. Merasa aneh dengan apa yang dilakukan Gandhi, sang ibu
bertanya, "Tuan. Kalau hanya mengatakan itu saja, kenapa tidak
kemarin saja saat pertama kali saya datang? Kenapa baru sekarang?
Bapak Bangsa India itu menjawab, "Ibu. Saat itu saya masih makan
permen, tapi sekarang tidak." Ingatan saya lalu sampai pada seorang
tabiin agung, Imam Hasan Al Bashri.
Dia adalah ulama besar yang disegani siapa saja dan perkataannya
didengarkan siapa saja.Suatu hari para budak di Kota Basrah datang
menemuinya.Mereka meminta padanya agar dalam khotbah Jumatnya
menyerukan kepada para penguasa dan orang kaya membebaskan para
budak.
Sebab Alquran menyerukan pembebasan budak. Tabiin besar itu hanya
mengangguk dan berkata lirih, "Insya Allah." Saat hari Jumat tiba,
para budak itu menanti khotbah sang Imam. Khotbah yang akan membuat
mereka merdeka dari perbudakan. Namun, mereka kecewa, sang Imam sama
sekali tidak menyinggung keutamaan membebaskan budak. Jumat
berikutnya mereka menanti janji sang Imam.
Namun, mereka kembali kecewa. Dua bulan lebih mereka menanti dan
mereka hampir putus asa. Mereka menyangka sang Imam tidak menepati
janjinya. Setelah lewat tiga bulan, pada suatu Jumat,sang Imam
berkhotbah dan menyeru kepada penduduk Kota Basrah agar membebaskan
budak, lengkap dengan segala pahala dan keutamaannya. Usai salat
Jumat, ribuan budak dibebaskan.
Para budak menangis bahagia. Di antara mereka ada yang mendatangi
sang Imam dan protes, "Imam kenapa baru sekarang kau serukan,kenapa
tidak sejak dulu saat kami minta padamu?" Sang Imam menjawab, "Saat
itu aku belum pernah membebaskan budak.Dan aku tidak punya uang
untuk membebaskan budak.Aku bekerja keras untuk memiliki uang.
Sampai akhirnya setelah tiga bulan, aku punya uang, lalu aku membeli
seorang budak dan langsung aku merdekakan. Barulah aku berani
khotbah dan menyerukan pembebasan budak. Aku ingin menjadi yang
pertama melakukan apa yang aku sampaikan."
Barulah mereka mengerti kenapa ucapan Imam Hasan Al Bashri itu
didengar oleh siapa saja.
Tentu saja saya tidak ingin mensejajarkan diri dengan dua tokoh yang
luar biasa itu. Saya hanya merasakan problem yang sama, yang pernah
dialami Gandhi dan Hasan Al Bashri. Seorang santri penulis novel
semacam saya tiba-tiba harus menghadapi pertanyaan tentang
mengentaskan nasib bangsa. Dan saya belum pernah punya pengalaman
mengatasi bangsa yang carut-marut.
Ada semacam irasionalitas; sekali orang dianggap sukses dalam satu
hal, lalu dia diposisikan sebagai manusia serbatahu. Lalu,
melimpahlah beragam pertanyaan kepadanya, bahkan pertanyaan yang
mungkin tidak dalam bidang yang dikuasainya. Hanya, karena menulis
novel Ayat Ayat Cinta, terus saya ditanya bagaimana mengentaskan
bangsa yang carut marut.
Apakah saya harus berlaku seperti Gandhiatau Hasan Al Bashri,meminta
ibu itu untuk menunggu beberapa waktu, sampai saya punya pengalaman
nyata dulu? Rasanya sangat sulit. Jawaban pasti atas pertanyaan ibu
itu, jujur, saya belum menemukannya. Saya tidak mau asal menjawab.
Saya tidak mau terjebak pada slogan-slogan besar yang kosong. Saya
tidak mau membicarakan nasib bangsa,tapi pada saat yang sama justru
menjadi bagian dari pembawa masalah bangsa.
Tidak ingin berlama-lama dalam pikiran saya sendiri itu,akhirnya
dengan sangat terpaksa,saya memberikan jawaban,"Ibu, hal yang paling
utama yang bisa kita lakukan untuk ikut memperbaiki bangsa ini
adalah berusaha sebaik mungkin untuk diri kita. Sebelum memperbaiki
bangsa, sebaiknya memperbaiki diri sendiri. Jika semua penduduk
negeri ini membenahi dirinya sendiri dengan baik,menurut saya, itu
usaha terbaik membenahi bangsa ini.
" Saat mengucapkan itu, bibir saya bergetar, ada rasa takut bahwa
saya tidak seperti Gandhi atau Hasan Al Bashri.Saya takut telah
menyampaikan sesuatu yang tidak saya lakukan.Saya hanya mencoba
belajar pada Hasan Al Bashri dan Mahatma Gandhi. (*)
Tulisan Habiburrahaman El Shirazy (Kang Abik) di Sindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar